Gunung Merapi
(Via New Selo)
"No
need to be arrogant cause we are nothing here"
Konyong meratapi Merapi dari Triangulasi Merbabu
Tak ada pesta kembang api walau
malam ini tahun berganti. Apalagi lengkingan suara terompet yang saling
bersautan. Sama seperti ketika melewati malam-malam yang lain. Tidak ada
kemeriahan menyambut tahun baru yang dalam kalender Islam jatuh besok. Atau,
dalam penanggalan Jawa populer dengan sebutan Malam Satu Suro.
Eit, tapi coba tengok ke Gunung Merapi.
Keramaian ada di gunung yang mengiris Jawa Tengah dan jogjakarta itu. Ribuan
orang, mulai yang masih bocah sampai lanjut usia, pria dan wanita tumpah ruah
di gunung yang dikeramatkan tersebut.
Benar rencana yang telah matang
digodog selama sebulan yaitu pendakian ke Gunung Merapi, Gunung Eksotis yang
menyimpan banyak misteri, bertepatan dengan Perayaan Pergantian Tahun Islam.
Apakah ini akan menjadi cerita horor? Tidak! Pengalaman baru akan kami rasakan
disini.
Karena keberangkatan rencananya 5
orang, aku (Yudha), Angga (konyong), Hendi, Papang, dan temannya Angga. Namun
H-1 rencana mulai berubah, Papang dan temannya Angga mengundurkan diri.
Dalihnya karena cuaca sedang ekstrim, mereka takut terkena badai. Kemudian
disaat yang hampir bersamaan, kelompok KPS 1x lainnya menghubungi kami. Yogo
mengkonfirmasi bergabung pendakian ke Merapi, pendakian ke Merbabu gagal karena
hal yang sama.
Sesuai rencana saya berangkat dari rumah (sukoharjo)
jam 2, dengan asumsi ashar tiba di meeting
point -rumah Angga. Karena memang rumah Angga merupakan titik yang paling
dekat untuk menuju tempat tujuan yaitu Selo, Boyolali. Sukses perhitungannya,
pukul 15.20WIB saya tiba di rumah Angga. Di sana telah menunggu Angga dan
Hendi, ternyata mereka belum packing. Sambil
menunggu Yogo dan kawannya kami memeriksa gears
dan perlengkapan laiinya. Lama sekali, 10, 20 menit, satu jam lewat,
akhirnya pukul 16.30WIB tiba juga mereka. Kami mulai packing ulang karena dome 5
cap belum masuk carrier, dome milikku
ditinggal. Dengan
menggunakan 3 motor 2 saling berbonceng dan saya sendirian berkendara, kami
berangkat setelah berpamitan dengan tuan rumah..
40
menit berkendara sampailah kami di daerah Cepogo Boyolali. Sekitar 100 meter
setelah tikungan terakhir pasar Cepogo terdapat sebuah keramaian di alun-alun
desa, kami melambatkan kecepatan motor. Kami harus melaju lamban lagi
setelahnya karena jalan telah miring 30oan. Sedang asik ngebut
lambat tiba-tiba kami di berhentikan oleh tukang parkir, karena ramai kami
harus mendapat parkiran yang agak jauh dari basecamp.
Maghrib kami menuju loket untuk
registrasi, per orang Rp13.500,- . di sana telah antre banyak pendaki melawati
jalur ini. Diantaranya banyak yang sedang makan, bermain gadget, asyik ngopi
sedangkan kami cukup makan-minum perbekalan kami sambil aklimatisasi.
Meminta kepada Tuhan adalah salah satu ritual yang
selalu dilakukan dimanapun kami berada demi mempermudah langkah dalam setiap
kegiatan. Bukan begitu kawan ??? Sama halnya dengan apa yang kami lakukan dini
hari ini, berdoa memohon kepada Tuhan YME semoga langkah ini diperlancar selama
pendakian. Berdo’a mulai!
cogito ergo sum, certamen ergo sum
Menanjak curam beraspal, saya
sempet bingung lantaran mobil dan motor melewati jalur ini. Ternyata 10 menit
berjalan ada sebuah bangunan besar berada dihadapan kami. NEW SELO gedung itu
gagah menantang siapa saja yang ingin mendaki merapi. Terdapat banyak kedai
makan atau kopi, diantara pengunjung ada yang sedang mengatur barisan berbaju
oranye, mereka adalah SAR. Kami istirahat sejenak untuk sekedar minum, Konyong
dan Aseng mulai blonyohan balsem
dikaki. Mereka beranggapan panasnya balsem juga berpengaruh kesiapan otot-otot
kaki. Yups! Kami siap menanjak lagi, berjalan menyusuri lereng kami
mempersiapkan penerangan. Tidak seperti tadi yang pinggir jalan banyak
lampunya. Sebelah kiri kami jelas tarjal curam seperti tak beralas.
Sekitar 15 menit berjalan, tiba-tiba
satu anggota team kami merasa ada yang salah dengan kepalanya. Dhian
Yogo Prabowo atau lebih akrab kami panggil Yogo merasakan pusing yang luar
biasa serta perut yang terasa mual. Dia meminta break untuk berusaha
memulihkan tenaga dan kondisinya. Awalnya saya pribadi belum curiga dengan
keadaannya, hanya berpikiran maklumlah perjalanan jauh habis ngajar PPL juga.
Tetapi saya merasa hal ini benar-benar aneh dan diluar dari kewajaran, sering
mendaki dengan dia ini adalah pertama kalinya. Belum ada lima menit berjalan
setelah meminta break dia selalu beristirahat dan pasti duduk lemas tak
berdaya. Rentang waktu berjalan dengan istirahat justru lebih banyak untuk
beristirahat. Lama kelamaan saya terus memperhatikan langkah kaki dan raut
wajahnya, tak ada tenaga di setiap ayunan langkah kaki, gontai tak bertenaga
sedangkan wajahnya pucat senada dengan tatapan mata seorang berputus asa.
Walaupun saya dan temanlainnya selalu memberikan semangat dan motivasi yang
tanpa henti kepada Yogo, nampak-nampaknya hal ini tidak akan berhasil kalau
belum dibenarkan dari awal. Semakin banyak team
lain menyalip kami, kami hanya menyapa mereka dengan senyum dan ber-say hello.
Saya mulai berpikir dia terkena mountain sickness. Pernah saya alami ketika ketika merbabu dengan
rombongannya Konyong. Menurut informasi yang saya cari mountain sickness diakibatkan ketidakmampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan kondisi alam di pegunungan yang berbeda dibandingkan dataran
rendah. Di daerah pegunungan, tekanan udara dan kadar oksigen lebih rendah
dibanding dengan dataran rendah, dalam kasus ini Yogo merasakan kelelahan yang
sangat teramat, pening di kepala dan mata berkunang-kunang.
“Ayo Yog! Mlaku alon-alon wae
mesti mengko tekan, yen kesel leren meneh wae. Semangat Yog!!” kalimat semacam itu yang sering keluar dari
mulut kami. Melihat kondisi Yogo yang tidak memungkinkan berjalan lagi, kami
putuskan berhenti istirahat hingga Yogo siap. Dia minum air cukup banyak, dan
minum jamu penghangat Tolak Badai. Setelah 20 menit, Yogo ingin berjalan
pelan-pelan, kami mengiyakan. Setelah berjalan lebih lama ternyata langkahnya
tak terjangkau lagi. Dia kembali sehat dengan langkah yang berapi-api.
Let’s Jump!!!
Setiap langkah kaki yang
kami ayunkan pastilah menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan untuk teman
yang berada dibelakang karena kumpulan debu yang beterbangan. Mulailah berhati-hati dengan langkah demi
menjaga teman lainnya atau kalaupun terpaksa memang harus jaga jarak supaya
jangkauan dari debu dan abu tidak mengganggu pernafasan. Beberapa saat jalan
kami dihadapkan pada pertigaan yang membagi jalur menjadi 2, ambil kekiri
adalah jalur kartini dengan tipe sedikit landai namun memutar sedangkan kalau
kita tetap lurus akan menemui tanjakan-tanjakan yang hampir setinggi perut bahkan
sampai sedada kita. Kedua jalur memisah tadi akan mempunyai titik temu di pos 1
jalur pendakian dengan ditandai adanya beberapa batu besar yang mempertemukan
pertigaan jalan. Sesampainya di Pos 1 kami istirahat dan sekedar memulihkan
tenaga.
Perjalanan
dilanjutkan bersamaan dengan kelompok lainnya sehingga makin ramai, debu pun
makin terasa mengganggu pernafasan, kami mulai menjaga jarak. Dengan track
yang mulai berbatu dan 1 rombongan yang luar biasa hebat. Kenapa hebat? Mereka
adalah warga sekitar yang saya kira tak lebih dari anak SMP yang mendaki dengan
sandal jepit, tanpa carrier hanya
sarung berisi perbekalan. Sekitar setengah jam kami mendaki bersama akhirnya
kami terlepas jauh di depan. Hingga tak terasa jalan berbatu terjal yang kami
lewati dengan susah payah dan penuh kehati-hatian, membawa langkah ini untuk
menginjakkan kaki di pos 2. Ditandai dengan adanya tiang setinggi 1 meter yang
terbuat dari beton, seakan membawa angin segar buat kami yang telah bergulat
dengan peluh untuk meloloskan diri dari track batuan. Semenjak dari pos
1 tadi moyaritas jalur untuk berpindah ke pos 2 adalah tanjakan curam dengan
batuan-batuan goyah yang pasti bergerak jikalau terpijak. Bukan hanya 1 atau 2
batu, melainkan puluhan bahkan ratusan bebatuan sebesar bola tenis atau lebih.
Tak sekadar fisik kuat dan fokus tinggi yang harus kita kuasai namun
perlengkapan pendukung dalam pendakian juga harus dimiliki. Sepatu atau sandal
yang kokoh dengan alas yang tidak licin saat menginjak bebatuan adalah faktor
pendukung lain untuk memperlanjar perjalanan kali ini selain fisik dan fokus
yang baik.
pos 2
Pos 2 terdapat shelter, cukup untuk berteduh 1 kelompok
berisi 5-6 orang. Kami manfaatkan benar disana, minum dan makan perbekalan.
Sambil bercengkrama mempersiapkan fisik. Tak kusangka cuaca sangat cerah hingga
ketika memandang langit bintang jatuh atau apapun itu namanya terlihat jelas.
Cahaya kota terlihat dari pos 2 ini.
Perjalanan
kami lanjutkan, angin mendinginkan tubuh hangatku. 30 menit berlalu, melewati camp kelompok lain. Aseng sepertinya
mulai lapar, “Yoh gek masak ning kene
wae!” celetuk dia.
Angga,”Wes yen kesel leren disik, masak’e mengko pas
ngecamp”. Sempat saya teringat pesan
temanku yaitu sebaiknya mendirikan dome sebelum
batas vegetasi. Karena diatas sana tak akan ada tanah guna memasak tenda.
“Nyong,
wis ngecamp kene wae, munggah wis
angel jalure, lemah ra ana nggo ngedekne tenda.” Yudha
“Maju
wae, paling sedelo engkas tekan pasar bubrah. Kae ana sing tekan duwur.”
Konyong
Begitulah
pendeknya percakapan kami. Sebenaranya masih banyak lagi kalimat yang
disampaikan kala itu. Saya dan Konyong sama-sama memberi argumen sendiri,
bersitegang dalam fikiran. Bahkan karena tegangnya fikiranku, aku gontai dan
tersungkur tersandung batu segede helm
fullface. Jarak kami mulai menjauh tanpa kata-kata hingga ditemui Watu
Gajah.
Keadaan
yang gelap membuat jarak pandang terbatas ketika ditemui tebing yang sulit
untuk didaki. kami sejenak berhenti untuk minum dan saya paling atas untuk mencoba
naik, bantuan dari team untuk memberi sinar pada jalur sangat dibutuhkan.
Hangga akhirnya semua sampai di puncak tebing. Perjalanan dilanjutkan dengan
lebih cepat dan harus hati-hati karena hanya setapak kanan dan kiri curam.
Hingga
akhirnya 21.35WIB, yang katanya itu adalah Pasar Bubrah. Selama kami menginjak
kaki disana tak ditemukan tanah, bebatuan yang kadang membuat tubuh tak
seimbang. Mencari tempat yang datar cocok untuk mendirikan tenda. Kami temukan
lantai berkemah. Bagi tugas, layer dome pertama
berdiri sempurna. Ada yang memegangi sumber cahaya, memasang fly sheet, menata carrier dan ada pula yang memasak. 2 kompor yang kami bawa sangat
membantu, 1 untuk memasak air sedangkan yang lain memasak makanan. Pergelutan
batin kami mereda karena rasa lapar. Cheff konyong mengatur semua tentang
masak-memasak.
Cheff
Konyong
Keringat yang membeku tadi telah
mencair oleh susu, muka pucat masam larut oleh hangatnya gubuk derita diatas bekuan
lava pijar merapi. Yah kami sempatkan merekam video untuk menceritakan aktivitas
kami. Sempat juga narsis didalam tenda :D
Hendi
dengan Saya
Kehangatan Gubuk Derita
Sempit Gan!
Seperti
biasa, saya dan Konyong terjaga. Masih ada waktu untuk mengobrol, entah ini
ritual apa kebiasaan sering kami lakukan. Tengah malam tepat saya bangun lagi,
mendengar kegaduhan yang semakin menjadi. Lingsir wengi, laggu itu bak katalis
bulu roma berdiri. Namun keadaan itu segera menghilang seketika. Karena tepat
disamping kami, sekelompok mendirikan camp.
Pengejar Sunrise
Gelap dan dingin menemani ketika saya dan Angga terbangun,
04.00WIB. Saya tonjolkan kepala keluar vestibule
terasa ngilu, angin berhembus walau sekejap. Kembali masuk ke dalam,
kelopak mata menggantung namun fikiran enggan untuk memejamkan. Sekedar saja
saya merebahkan badan, entahlah. Beberapa saat waktu tak terhentikan, Konyong membangunkanku,
hampir terlambat sudah sunrise meluncur
dari peraduannya. Kami terlambat mendaki ke sisi bukit sebelahnya.
Mentari
Pagi di Pasar Bubrah
inilah aku
Konyong narsis
Summits Merapi!!
Team 5
Jam
tangan telah menunjukan 5.30, bersiap untuk summits
ke Puncak Garuda dengan berdoa kepada Allah SWT kemudian sempat pula
mengabadikan moment di lerengnya. Konyong
mulai menapaki pasir yang mengkilat karena sinar mentari. Dilanjutkan Aseng,
Yogo, Parjo, sedangkan aku menjadi sweeper
merangkap menjadi photographer.
Sebagai leader, Konyong harus selalu
mencari jalan terbaik dan termudah untuk meyakinkan teman-teman yang mengikuti
jalan ini akan aman. Salah satu pencarian jalan terpenting selama mendaki
gunung merapi adalah memilih jalan terbaik untuk menuju puncak dari campsite
terkahir. Jika kita salah memilih jalur ditempat ini, bukan tidak mungkin itu
semua akan menjadi boomerang tersendiri buat kita. Dia harus memastikan
jalan yang sudah dipilih adalah jalan yang benar dan tidak berpotensi
menyusahkan.
Konyong, Parjo, Aseng, Yogo
Jalur
yang kami lewaati berbeda dari banyak rombongan lain gunakan, jalur sebelah
kanan tepat lurus di bawah Puncak Garuda (menurutku). Baru 3 langkah kaki ini
mengayun ternyata longsoran kerikil-kerikil kecil sudah terlihat nyata di depan
mata, seolah sebuah pertanda bahwa perjalanan terakhir inilah yang memang
benar-benar menyusahkan. Beberapa saat bertempur dengan peluh track
pembuka yang cukup menguras tenaga, sampailah kaki ini di jalur yang hanya
dipenuhi batu. Namun bukan kerikil yang dihadapi, melainkan batu-batu besar
yang harus dipanjat.
Tiba-tiba teriakan yang gaduhdari
sebelah kiri. Sebuah batu sebesar helm menggelinding dengan ganasnya dari atas
ke bawah. Seluruh pendaki dijalur itu merunduk, menyembunyikan badan mereka
untuk menghindari batu. Sekian detik kemudian batu itu menghantam batu lainnya,
kemudian pecah menjadi batuan yang lebih kecil. Jika batu tersebut mengenai tangan
kemungkinan besar dengan mudah tangan kita akan patah atau paling tidak cidera
parah.
Jalur yang dilalui kali ini
mempunyai sudut kemiringan hampir 45 0 dengan kata lain ketika kita
menemui tanjakan, lutut bisa bertemu dengan wajah. Itu jikalau batu hanya
terkena tangan kita, bagaimana kalau batu yang menggelinding dengan kecepatan
penuh ini terkena kepala para pendaki lain dibawah kita ??? Apapun bisa terjadi
di tempat ini jika salah satu pihak kehilangan kontrol akan langkahnya !!!So
... Please, for everyone pay more attention with your steps. Jangan lupa
juga untuk memberikan peringatan kepada teman-teman pendaki lain yang ada
dibawah dengan teriakan sekeras mungkin kalau memang ada batu yang meluncur
kebawah.
Jarak masing-masing dari kami
semakin menjauh, terutama saya yang tertinggal karena sedang asyik mencari
moment. Saya lihat keatas, Aseng, Yogo, dan Parjo sedang istirahat di bebatuan
yang besar. Saya lantas menggerakkan kaki dan tangan lebih cepat dan stabil.
Setelah berjuang dengan sepenuh tenaga dan fokus yang
tak pernah hilang dari pikiran, terlihatlah sepetak bebatuan yang cukup datar
memanjang sebagai pertanda bahwa itulah titik tujuan. Teringat beberapa jam
yang lalu dimana kita sedang bersusah payah membangun kekompakan, jatuh bangun karena
tanjakan, gontai tak berdaya karena kelaparan, hingga akhirnya kita menapakkan
kaki ini di titik tertinggi puncak merapi. Seakan Tuhan merestui langkah ini,
gumpalan awan putih tebal pun menyertai ketika kami berhasil mencapai puncak
tertinggi. Keindahan
yang luar biasa sempurna untuk bisa dinikmati oleh seorang anak manusia,
suasana yang membuat kita berasa lebih dekat bahkan berdialog dengan Tuhan.
“Terkadang untuk bisa lebih bersyukur, kita harus datang lebih dekat kepada
Tuhan”.
Kebersamaan
hingga Puncak
Pencari Momen
Eksotisme srikandi
Telalu
indah untuk ditinggalkan, 08.00WIB kami kembali ke Pasar Bubrah melalui jalur
berbeda. Jalur ini lebih ramai berbatu terjal. Namun langkahku sempat
terhentikan karena pemandangan jarang aku jumpai. Sekelompok wanita sekitar
20-25 tahunan, dengan semangat mendaki bebatuan. Betapa eksotisnya, tak lupa
saya abadikan momen itu.
Perempuan Sakti
Eksotisfm
25
menit kemudian setelah menuruni bebatuan dan pasir tiba di Pasar Bubrah. Karena
aku berada di belakang sendiri, seperti biasa menjadi photographer amatir. Saya
lupa letak camp berada, sempat
berkeliling sejenak, dan terdengar salah namaku disebt-sebut dengan lantang.
Disana dan ketemu! Kami kemudian packing dan
membuat makanan untuk sarapan.
Kemesraan di antara kami
Good bye Pasar Bubrah!
Mulai
bergerak Konyong sebagai leader,
disusul berurutan Yogo, Aseng, Parjo, terakhir saya. Saya mulai berharap kita
bisa menemui pepohonan untuk berteduh atau sekadar melepas lelah, karena semua
itu bagai fatamorgana dibawah terpaan sinar matahari yang sedang memuncak. Ya,
kami berempat berdiri di tempat ini tepat jam 9.30WIB ketika melihat sebuah
monumen kenangan seorang pendaki yang berpuluh tahun lalu gugur ketika berusaha
mendaki puncak merapi. Kami baru benar-banar menyadari keberadaan monumen itu,
semalam kami hanya lewat dan bahkan tak menghiraukannya.
Pasar Bubrah dari Puncak
Monumen
itu mengingatkan pada Achmad Al Habsji, Paulus Haryo Sulaksono dan Arseno
menghembuskan nafas terakhir mereka dalam rangkaian pendakian pada tanggal 1-3
Maret 1977. Mereka bertiga adalah anggota dari organisasi Pelajar Pecinta Alam
SMA N 4 Yogyakarta atau patbhe, senior dari 2 orang yang tadi meninggalkan jam
dinding di basecamp barameru. Kita do’akan semoga amal kebaikan mereka
diterima oleh Tuhan YME dan ditempatkan disisi terbaiknya. Sebuah tanda bahwa
gunung merapi bukanlah gunung yang ramah untuk pendakinya, rasanya sudah sangat
jelas tergambarkan jika diperhatikan bentuk puncak merapi dari pasar bubrah.
Area yang sangat luas dengan ribuan atau bahkan jutaan bebatuan bervariasi dari
pasir lembut sampai batu besar tajam berantakan menyebar.
What the Moment!!
Pendakian ramai membuat jarak antar
anggota kelompok menjadi berjauhan, tertinggalah Parjo dan saya. Didepan kami
sekelompok wanita muslimah bergerak cukup lamban. Jalur hanya mampu untuk 1-2
orang, sehingga kami hanya mengikuti langkah mereka. Tiba akhirnya di batas
vegetasi, keadaan yang sedari puncak saya rasakan, diatambah lagi sarapan
lumayang membuat perutku sesak. Akhirnya isi kantong makanan berontak, dia
memukul-mukul dinding paling bawah. Sambil berjalan pelan, saya mengajak Parjo
istirahat. Karena tak diketahui maksudku oleh Parjo, saya minta dia untuk tak
mendekatiku. Dengan beratapkan langit teduh tak berawan, berdinding semak-semak,
serta mempunyai view Gunung Merbabu,
saya nobatkan ini adalah toilet terindah yang pernah saya singgahi. Kurang dari
5 menit, suasana perut menjadi longgar. Kemudian makan snack dan minum lagi.
Hahahha
Hingga pukul 11.30WIB tiba di basecamp, terlihat dari kejauhan
Konyong, Yogo, dan Aseng telah menunggu kami. Setelah mendekat, mereka sempat
jatuh dan terkena batuan keras pada kaki Aseng dan Konyong. Sempat kami ngobrol
berbagi cerita di sana. Perjalanan pulang kami lanjutkan hingga akhirnya pukul
14.45WIB tiba di Kos CekGoo dengan selamat sentosa.
Anggota team 5
Gama
Konyong
Parjo
Yogo
Aseng
0 comments:
Post a Comment