Catatan Perjalanan Gunung Merapi via new Selo

Friday 9 January 2015

Gunung Merapi
(Via New Selo)
"No need to be arrogant cause we are nothing here"
Konyong meratapi Merapi  dari Triangulasi Merbabu

Tak ada pesta kembang api walau malam ini tahun berganti. Apalagi lengkingan suara terompet yang saling bersautan. Sama seperti ketika melewati malam-malam yang lain. Tidak ada kemeriahan menyambut tahun baru yang dalam kalender Islam jatuh besok. Atau, dalam penanggalan Jawa populer dengan sebutan Malam Satu Suro.

Eit, tapi coba tengok ke Gunung Merapi. Keramaian ada di gunung yang mengiris Jawa Tengah dan jogjakarta itu. Ribuan orang, mulai yang masih bocah sampai lanjut usia, pria dan wanita tumpah ruah di gunung yang dikeramatkan tersebut.
Benar rencana yang telah matang digodog selama sebulan yaitu pendakian ke Gunung Merapi, Gunung Eksotis yang menyimpan banyak misteri, bertepatan dengan Perayaan Pergantian Tahun Islam. Apakah ini akan menjadi cerita horor? Tidak! Pengalaman baru akan kami rasakan disini.
Karena keberangkatan rencananya 5 orang, aku (Yudha), Angga (konyong), Hendi, Papang, dan temannya Angga. Namun H-1 rencana mulai berubah, Papang dan temannya Angga mengundurkan diri. Dalihnya karena cuaca sedang ekstrim, mereka takut terkena badai. Kemudian disaat yang hampir bersamaan, kelompok KPS 1x lainnya menghubungi kami. Yogo mengkonfirmasi bergabung pendakian ke Merapi, pendakian ke Merbabu gagal karena hal yang sama.
Sesuai rencana saya berangkat dari rumah (sukoharjo) jam 2, dengan asumsi ashar tiba di meeting point -rumah Angga. Karena memang rumah Angga merupakan titik yang paling dekat untuk menuju tempat tujuan yaitu Selo, Boyolali. Sukses perhitungannya, pukul 15.20WIB saya tiba di rumah Angga. Di sana telah menunggu Angga dan Hendi, ternyata mereka belum packing. Sambil menunggu Yogo dan kawannya kami memeriksa gears dan perlengkapan laiinya. Lama sekali, 10, 20 menit, satu jam lewat, akhirnya pukul 16.30WIB tiba juga mereka. Kami mulai packing ulang karena dome 5 cap belum masuk carrier, dome milikku ditinggal. Dengan menggunakan 3 motor 2 saling berbonceng dan saya sendirian berkendara, kami berangkat setelah berpamitan dengan tuan rumah..
         40 menit berkendara sampailah kami di daerah Cepogo Boyolali. Sekitar 100 meter setelah tikungan terakhir pasar Cepogo terdapat sebuah keramaian di alun-alun desa, kami melambatkan kecepatan motor. Kami harus melaju lamban lagi setelahnya karena jalan telah miring 30oan. Sedang asik ngebut lambat tiba-tiba kami di berhentikan oleh tukang parkir, karena ramai kami harus mendapat parkiran yang agak jauh dari basecamp.



Maghrib kami menuju loket untuk registrasi, per orang Rp13.500,- . di sana telah antre banyak pendaki melawati jalur ini. Diantaranya banyak yang sedang makan, bermain gadget, asyik ngopi sedangkan kami cukup makan-minum perbekalan kami sambil aklimatisasi.
          Meminta kepada Tuhan adalah salah satu ritual yang selalu dilakukan dimanapun kami berada demi mempermudah langkah dalam setiap kegiatan. Bukan begitu kawan ??? Sama halnya dengan apa yang kami lakukan dini hari ini, berdoa memohon kepada Tuhan YME semoga langkah ini diperlancar selama pendakian. Berdo’a mulai! 

cogito ergo sum, certamen ergo sum
Menanjak curam beraspal, saya sempet bingung lantaran mobil dan motor melewati jalur ini. Ternyata 10 menit berjalan ada sebuah bangunan besar berada dihadapan kami. NEW SELO gedung itu gagah menantang siapa saja yang ingin mendaki merapi. Terdapat banyak kedai makan atau kopi, diantara pengunjung ada yang sedang mengatur barisan berbaju oranye, mereka adalah SAR. Kami istirahat sejenak untuk sekedar minum, Konyong dan Aseng mulai blonyohan balsem dikaki. Mereka beranggapan panasnya balsem juga berpengaruh kesiapan otot-otot kaki. Yups! Kami siap menanjak lagi, berjalan menyusuri lereng kami mempersiapkan penerangan. Tidak seperti tadi yang pinggir jalan banyak lampunya. Sebelah kiri kami jelas tarjal curam seperti tak beralas.
Sekitar 15 menit berjalan, tiba-tiba satu anggota team kami merasa ada yang salah dengan kepalanya. Dhian Yogo Prabowo atau lebih akrab kami panggil Yogo merasakan pusing yang luar biasa serta perut yang terasa mual. Dia meminta break untuk berusaha memulihkan tenaga dan kondisinya. Awalnya saya pribadi belum curiga dengan keadaannya, hanya berpikiran maklumlah perjalanan jauh habis ngajar PPL juga. Tetapi saya merasa hal ini benar-benar aneh dan diluar dari kewajaran, sering mendaki dengan dia ini adalah pertama kalinya. Belum ada lima menit berjalan setelah meminta break dia selalu beristirahat dan pasti duduk lemas tak berdaya. Rentang waktu berjalan dengan istirahat justru lebih banyak untuk beristirahat. Lama kelamaan saya terus memperhatikan langkah kaki dan raut wajahnya, tak ada tenaga di setiap ayunan langkah kaki, gontai tak bertenaga sedangkan wajahnya pucat senada dengan tatapan mata seorang berputus asa. Walaupun saya dan temanlainnya selalu memberikan semangat dan motivasi yang tanpa henti kepada Yogo, nampak-nampaknya hal ini tidak akan berhasil kalau belum dibenarkan dari awal. Semakin banyak team lain menyalip kami, kami hanya menyapa mereka dengan senyum dan ber-say hello.
Saya mulai berpikir dia terkena mountain sickness.  Pernah saya alami ketika ketika merbabu dengan rombongannya Konyong. Menurut informasi yang saya cari mountain sickness diakibatkan ketidakmampuan tubuh untuk beradaptasi dengan kondisi alam di pegunungan yang berbeda dibandingkan dataran rendah. Di daerah pegunungan, tekanan udara dan kadar oksigen lebih rendah dibanding dengan dataran rendah, dalam kasus ini Yogo merasakan kelelahan yang sangat teramat, pening di kepala dan mata berkunang-kunang.
“Ayo Yog! Mlaku alon-alon wae mesti mengko tekan, yen kesel leren meneh wae. Semangat Yog!!”  kalimat semacam itu yang sering keluar dari mulut kami. Melihat kondisi Yogo yang tidak memungkinkan berjalan lagi, kami putuskan berhenti istirahat hingga Yogo siap. Dia minum air cukup banyak, dan minum jamu penghangat Tolak Badai. Setelah 20 menit, Yogo ingin berjalan pelan-pelan, kami mengiyakan. Setelah berjalan lebih lama ternyata langkahnya tak terjangkau lagi. Dia kembali sehat dengan langkah yang berapi-api.

Let’s Jump!!!
                Setiap langkah kaki yang kami ayunkan pastilah menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan untuk teman yang berada dibelakang karena kumpulan debu yang beterbangan.  Mulailah berhati-hati dengan langkah demi menjaga teman lainnya atau kalaupun terpaksa memang harus jaga jarak supaya jangkauan dari debu dan abu tidak mengganggu pernafasan. Beberapa saat jalan kami dihadapkan pada pertigaan yang membagi jalur menjadi 2, ambil kekiri adalah jalur kartini dengan tipe sedikit landai namun memutar sedangkan kalau kita tetap lurus akan menemui tanjakan-tanjakan yang hampir setinggi perut bahkan sampai sedada kita. Kedua jalur memisah tadi akan mempunyai titik temu di pos 1 jalur pendakian dengan ditandai adanya beberapa batu besar yang mempertemukan pertigaan jalan. Sesampainya di Pos 1 kami istirahat dan sekedar memulihkan tenaga.
                Perjalanan dilanjutkan bersamaan dengan kelompok lainnya sehingga makin ramai, debu pun makin terasa mengganggu pernafasan, kami mulai menjaga jarak. Dengan track yang mulai berbatu dan 1 rombongan yang luar biasa hebat. Kenapa hebat? Mereka adalah warga sekitar yang saya kira tak lebih dari anak SMP yang mendaki dengan sandal jepit, tanpa carrier hanya sarung berisi perbekalan. Sekitar setengah jam kami mendaki bersama akhirnya kami terlepas jauh di depan. Hingga tak terasa jalan berbatu terjal yang kami lewati dengan susah payah dan penuh kehati-hatian, membawa langkah ini untuk menginjakkan kaki di pos 2. Ditandai dengan adanya tiang setinggi 1 meter yang terbuat dari beton, seakan membawa angin segar buat kami yang telah bergulat dengan peluh untuk meloloskan diri dari track batuan. Semenjak dari pos 1 tadi moyaritas jalur untuk berpindah ke pos 2 adalah tanjakan curam dengan batuan-batuan goyah yang pasti bergerak jikalau terpijak. Bukan hanya 1 atau 2 batu, melainkan puluhan bahkan ratusan bebatuan sebesar bola tenis atau lebih. Tak sekadar fisik kuat dan fokus tinggi yang harus kita kuasai namun perlengkapan pendukung dalam pendakian juga harus dimiliki. Sepatu atau sandal yang kokoh dengan alas yang tidak licin saat menginjak bebatuan adalah faktor pendukung lain untuk memperlanjar perjalanan kali ini selain fisik dan fokus yang baik. 


pos 2



Pos 2 terdapat shelter, cukup untuk berteduh 1 kelompok berisi 5-6 orang. Kami manfaatkan benar disana, minum dan makan perbekalan. Sambil bercengkrama mempersiapkan fisik. Tak kusangka cuaca sangat cerah hingga ketika memandang langit bintang jatuh atau apapun itu namanya terlihat jelas. Cahaya kota terlihat dari pos 2 ini.
                Perjalanan kami lanjutkan, angin mendinginkan tubuh hangatku. 30 menit berlalu, melewati camp kelompok lain. Aseng sepertinya mulai lapar, “Yoh gek masak ning kene wae!” celetuk dia.
Angga,”Wes yen kesel leren disik, masak’e mengko pas ngecamp”. Sempat saya teringat pesan temanku yaitu sebaiknya mendirikan dome sebelum batas vegetasi. Karena diatas sana tak akan ada tanah guna memasak tenda.
                “Nyong, wis ngecamp kene wae, munggah wis angel jalure, lemah ra ana nggo ngedekne tenda.” Yudha
                “Maju wae, paling sedelo engkas tekan pasar bubrah. Kae ana sing tekan duwur.” Konyong
                Begitulah pendeknya percakapan kami. Sebenaranya masih banyak lagi kalimat yang disampaikan kala itu. Saya dan Konyong sama-sama memberi argumen sendiri, bersitegang dalam fikiran. Bahkan karena tegangnya fikiranku, aku gontai dan tersungkur tersandung batu segede helm fullface. Jarak kami mulai menjauh tanpa kata-kata hingga ditemui Watu Gajah.
                Keadaan yang gelap membuat jarak pandang terbatas ketika ditemui tebing yang sulit untuk didaki. kami sejenak berhenti untuk minum dan saya paling atas untuk mencoba naik, bantuan dari team untuk memberi sinar pada jalur sangat dibutuhkan. Hangga akhirnya semua sampai di puncak tebing. Perjalanan dilanjutkan dengan lebih cepat dan harus hati-hati karena hanya setapak kanan dan kiri curam.
                Hingga akhirnya 21.35WIB, yang katanya itu adalah Pasar Bubrah. Selama kami menginjak kaki disana tak ditemukan tanah, bebatuan yang kadang membuat tubuh tak seimbang. Mencari tempat yang datar cocok untuk mendirikan tenda. Kami temukan lantai berkemah. Bagi tugas, layer dome pertama berdiri sempurna. Ada yang memegangi sumber cahaya, memasang fly sheet, menata carrier dan ada pula yang memasak. 2 kompor yang kami bawa sangat membantu, 1 untuk memasak air sedangkan yang lain memasak makanan. Pergelutan batin kami mereda karena rasa lapar. Cheff konyong mengatur semua tentang masak-memasak.



Cheff Konyong

                Keringat yang membeku tadi telah mencair oleh susu, muka pucat masam larut oleh hangatnya gubuk derita diatas bekuan lava pijar merapi. Yah kami sempatkan merekam video untuk menceritakan aktivitas kami. Sempat juga narsis didalam tenda :D


Hendi dengan Saya




Kehangatan Gubuk Derita

Sempit Gan!

        Seperti biasa, saya dan Konyong terjaga. Masih ada waktu untuk mengobrol, entah ini ritual apa kebiasaan sering kami lakukan. Tengah malam tepat saya bangun lagi, mendengar kegaduhan yang semakin menjadi. Lingsir wengi, laggu itu bak katalis bulu roma berdiri. Namun keadaan itu segera menghilang seketika. Karena tepat disamping kami, sekelompok mendirikan camp.

Pengejar Sunrise
                Gelap  dan dingin menemani ketika saya dan Angga terbangun, 04.00WIB. Saya tonjolkan kepala keluar vestibule terasa ngilu, angin berhembus walau sekejap. Kembali masuk ke dalam, kelopak mata menggantung namun fikiran enggan untuk memejamkan. Sekedar saja saya merebahkan badan, entahlah. Beberapa saat waktu tak terhentikan, Konyong membangunkanku, hampir terlambat sudah sunrise meluncur dari peraduannya. Kami terlambat mendaki ke sisi bukit sebelahnya.


Mentari Pagi di Pasar Bubrah

inilah aku 

Konyong narsis

Summits Merapi!!

Team 5

              Jam tangan telah menunjukan 5.30, bersiap untuk summits ke Puncak Garuda dengan berdoa kepada Allah SWT kemudian sempat pula mengabadikan moment di lerengnya.  Konyong mulai menapaki pasir yang mengkilat karena sinar mentari. Dilanjutkan Aseng, Yogo, Parjo, sedangkan aku menjadi sweeper merangkap menjadi photographer. Sebagai leader, Konyong harus selalu mencari jalan terbaik dan termudah untuk meyakinkan teman-teman yang mengikuti jalan ini akan aman. Salah satu pencarian jalan terpenting selama mendaki gunung merapi adalah memilih jalan terbaik untuk menuju puncak dari campsite terkahir. Jika kita salah memilih jalur ditempat ini, bukan tidak mungkin itu semua akan menjadi boomerang tersendiri buat kita. Dia harus memastikan jalan yang sudah dipilih adalah jalan yang benar dan tidak berpotensi menyusahkan.

Konyong, Parjo, Aseng, Yogo

                Jalur yang kami lewaati berbeda dari banyak rombongan lain gunakan, jalur sebelah kanan tepat lurus di bawah Puncak Garuda (menurutku). Baru 3 langkah kaki ini mengayun ternyata longsoran kerikil-kerikil kecil sudah terlihat nyata di depan mata, seolah sebuah pertanda bahwa perjalanan terakhir inilah yang memang benar-benar menyusahkan. Beberapa saat bertempur dengan peluh track pembuka yang cukup menguras tenaga, sampailah kaki ini di jalur yang hanya dipenuhi batu. Namun bukan kerikil yang dihadapi, melainkan batu-batu besar yang harus dipanjat.
Tiba-tiba teriakan yang gaduhdari sebelah kiri. Sebuah batu sebesar helm menggelinding dengan ganasnya dari atas ke bawah. Seluruh pendaki dijalur itu merunduk, menyembunyikan badan mereka untuk menghindari batu. Sekian detik kemudian batu itu menghantam batu lainnya, kemudian pecah menjadi batuan yang lebih kecil. Jika batu tersebut mengenai tangan kemungkinan besar dengan mudah tangan kita akan patah atau paling tidak cidera parah.
Jalur yang dilalui kali ini mempunyai sudut kemiringan hampir 45 0 dengan kata lain ketika kita menemui tanjakan, lutut bisa bertemu dengan wajah. Itu jikalau batu hanya terkena tangan kita, bagaimana kalau batu yang menggelinding dengan kecepatan penuh ini terkena kepala para pendaki lain dibawah kita ??? Apapun bisa terjadi di tempat ini jika salah satu pihak kehilangan kontrol akan langkahnya !!!So ... Please, for everyone pay more attention with your steps. Jangan lupa juga untuk memberikan peringatan kepada teman-teman pendaki lain yang ada dibawah dengan teriakan sekeras mungkin kalau memang ada batu yang meluncur kebawah.
Jarak masing-masing dari kami semakin menjauh, terutama saya yang tertinggal karena sedang asyik mencari moment. Saya lihat keatas, Aseng, Yogo, dan Parjo sedang istirahat di bebatuan yang besar. Saya lantas menggerakkan kaki dan tangan lebih cepat dan stabil.
Setelah berjuang dengan sepenuh tenaga dan fokus yang tak pernah hilang dari pikiran, terlihatlah sepetak bebatuan yang cukup datar memanjang sebagai pertanda bahwa itulah titik tujuan. Teringat beberapa jam yang lalu dimana kita sedang bersusah payah membangun kekompakan, jatuh bangun karena tanjakan, gontai tak berdaya karena kelaparan, hingga akhirnya kita menapakkan kaki ini di titik tertinggi puncak merapi. Seakan Tuhan merestui langkah ini, gumpalan awan putih tebal pun menyertai ketika kami berhasil mencapai puncak tertinggi. Keindahan yang luar biasa sempurna untuk bisa dinikmati oleh seorang anak manusia, suasana yang membuat kita berasa lebih dekat bahkan berdialog dengan Tuhan. “Terkadang untuk bisa lebih bersyukur, kita harus datang lebih dekat kepada Tuhan”.

Kebersamaan hingga Puncak

Pencari Momen

Eksotisme srikandi
                Telalu indah untuk ditinggalkan, 08.00WIB kami kembali ke Pasar Bubrah melalui jalur berbeda. Jalur ini lebih ramai berbatu terjal. Namun langkahku sempat terhentikan karena pemandangan jarang aku jumpai. Sekelompok wanita sekitar 20-25 tahunan, dengan semangat mendaki bebatuan. Betapa eksotisnya, tak lupa saya abadikan momen itu.

Perempuan Sakti

Eksotisfm

            25 menit kemudian setelah menuruni bebatuan dan pasir tiba di Pasar Bubrah. Karena aku berada di belakang sendiri, seperti biasa menjadi photographer amatir. Saya lupa letak camp berada, sempat berkeliling sejenak, dan terdengar salah namaku disebt-sebut dengan lantang. Disana dan ketemu! Kami kemudian packing dan membuat makanan untuk sarapan.

Kemesraan di antara kami

Good bye Pasar Bubrah!
                Mulai bergerak Konyong sebagai leader, disusul berurutan Yogo, Aseng, Parjo, terakhir saya. Saya mulai berharap kita bisa menemui pepohonan untuk berteduh atau sekadar melepas lelah, karena semua itu bagai fatamorgana dibawah terpaan sinar matahari yang sedang memuncak. Ya, kami berempat berdiri di tempat ini tepat jam 9.30WIB ketika melihat sebuah monumen kenangan seorang pendaki yang berpuluh tahun lalu gugur ketika berusaha mendaki puncak merapi. Kami baru benar-banar menyadari keberadaan monumen itu, semalam kami hanya lewat dan bahkan tak menghiraukannya.

Pasar Bubrah dari Puncak

                Monumen itu mengingatkan pada Achmad Al Habsji, Paulus Haryo Sulaksono dan Arseno menghembuskan nafas terakhir mereka dalam rangkaian pendakian pada tanggal 1-3 Maret 1977. Mereka bertiga adalah anggota dari organisasi Pelajar Pecinta Alam SMA N 4 Yogyakarta atau patbhe, senior dari 2 orang yang tadi meninggalkan jam dinding di basecamp barameru. Kita do’akan semoga amal kebaikan mereka diterima oleh Tuhan YME dan ditempatkan disisi terbaiknya. Sebuah tanda bahwa gunung merapi bukanlah gunung yang ramah untuk pendakinya, rasanya sudah sangat jelas tergambarkan jika diperhatikan bentuk puncak merapi dari pasar bubrah. Area yang sangat luas dengan ribuan atau bahkan jutaan bebatuan bervariasi dari pasir lembut sampai batu besar tajam berantakan menyebar.

What the Moment!!
Pendakian ramai membuat jarak antar anggota kelompok menjadi berjauhan, tertinggalah Parjo dan saya. Didepan kami sekelompok wanita muslimah bergerak cukup lamban. Jalur hanya mampu untuk 1-2 orang, sehingga kami hanya mengikuti langkah mereka. Tiba akhirnya di batas vegetasi, keadaan yang sedari puncak saya rasakan, diatambah lagi sarapan lumayang membuat perutku sesak. Akhirnya isi kantong makanan berontak, dia memukul-mukul dinding paling bawah. Sambil berjalan pelan, saya mengajak Parjo istirahat. Karena tak diketahui maksudku oleh Parjo, saya minta dia untuk tak mendekatiku. Dengan beratapkan langit teduh tak berawan, berdinding semak-semak, serta mempunyai view Gunung Merbabu, saya nobatkan ini adalah toilet terindah yang pernah saya singgahi. Kurang dari 5 menit, suasana perut menjadi longgar. Kemudian makan snack dan minum lagi. Hahahha
Hingga pukul 11.30WIB tiba di basecamp, terlihat dari kejauhan Konyong, Yogo, dan Aseng telah menunggu kami. Setelah mendekat, mereka sempat jatuh dan terkena batuan keras pada kaki Aseng dan Konyong. Sempat kami ngobrol berbagi cerita di sana. Perjalanan pulang kami lanjutkan hingga akhirnya pukul 14.45WIB tiba di Kos CekGoo dengan selamat sentosa.

Anggota team 5
Gama
Konyong
Parjo
Yogo
Aseng

















0 comments:

Post a Comment

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))